Menikahlah dengan Mempertimbangkan Agama
Penjelasannya menyejukkan. Begitulah Prof Dr M Quraish Shihab. Pakar tafsir termasyhur ini berusaha tak menggurui, bahkan, memvonis mereka yang mengajukan permasalahan. Dengan kekayaan keilmuan yang dimilikinya, ia selalu memberikan tawaran alternatif. Bila ada pendapat yang lebih kuat, ia hanya mengatakan, ''Saya cenderung memilih pendapat ulama A atau B''.
Kendati demikian, tak berarti ia kehilangan ketegasan. Menghadapi masalah yang helas halal atau haram, ayah lima anak ini, akan tegas menyatakannya langsung. Ia, bahkan, tak akan bergeming.
Lantas, bagaimana pandangannya terhadap masalah khilafiyah seperti menikah beda agama? Pria yang hapal Alquran ini mengimbau agar melihat konteks suatu ayat saat diturunkan. ''Dalam ayat yang membolehkan dan melarang nikah beda agama, kita harus jeli membaca latar belakang ayat tersebut turun. Bila tidak, kita akan terjerumus dalam perdebatan masalah-masalah sepele yang hanya menghabiskan energi saja,'' jelas Quraish.
Selain aktif menulis dan berceramah, sejumlah jabatan penting juga pernah ia jalani, antara lain Menteri Agama, Duta Besar RI untuk Mesir, dan Rektor IAIN Jakarta kini Universitas Islam Negeri (UIN). Di tengah kesibukannya yang padat, doktor dari Universitas Al-Azhar Mesir ini tetap menyempatkan menjawab berbagai pertanyaan dari pembaca Republika secara ajeg.
Kini, pria kelahiran Rappang, Sulawesi Selatan, 16 Februari 1946 ini sedang menyelesaikan Tafsir Al Misbah sebanyak 30 juz yang sekarang telah terbit 13 volume. Dalam waktu dekat juga segera terbit dua bukunya, Bekal Perjalanan dan 40 Hadis Qudsi Pilihan. Berikut petikan wawancara dengannya seputar pernikahan beda agama.
Pernyataan Nabi SAW menyebutkan ada tiga kriteria untuk melangsungkan pernikahan. Yaitu pilih materi, kecantikan, dan agama, maka pilihlah agamanya. Bisa Anda jelaskan hal ini?
Hadis itu menggambarkan ada orang yang dorongan kawinnya itu harta, ada pula dorongan karena kecantikannya. Kalau yang mengatakannya itu penganjur agama, maka dia akan berkata, "fazfar bizaati diniha" (pilih agamanya).
Tapi kalau hal itu diucapkan oleh bukan penganjur agama, maka dia akan mengatakan, pilih saja hartanya atau kecantikannya. Saya dapat mengatakan bahwa hampir semua yang kawin beda agama itu tidak menempatkan faktor dan nilai agama dalam pertimbangan utama tingkatan yang tinggi. Islam sudah demikian jelas, menempatkan pertimbangan agama pada tingkatan tertinggi, melebihi faktor-faktor lainnya.
Anda tadi menegaskan, Islam tidak membolehkan nikah beda agama, bila pertimbangannya agama. Lantas bagaimana dengan ayat Alquran yang membolehkan pria Muslim menikahi wanita non-Islam?
Ayat itu harus dilihat dalam konteks ajaran agama ketika itu. Kondisi masyarakat saat itu yang dominan adalah lelaki Muslim bisa mentoleransi istrinya melaksanakan tuntunan agamanya yang Yahudi atau Nasrani. Tetapi lelaki yang non-Muslim, karena dia dominan, bisa jadi memaksanakan istrinya untuk keluar dari agamanya.
Mengapa? Antara lain karena non-Muslim tidak percaya Muhammad SAW itu nabi. Akan tetapi, seorang Muslim meskipun dia dominan, tetap percaya bahwa Isa AS adalah nabi, Musa AS itu nabi, dan dia percaya bahwa Islam itu mentoleransi setiap orang menjalankan agamanya masing-masing. Jadi Islam membenarkan Muslim (pria) menikahi non-Muslim (wanitanya).
Sekarang ini, seandainya yang lebih dominan itu Muslimahnya, laki-laki non-Muslimnya yang minoritas, bisa nggak laki-laki itu dalam pertimbangan agamanya membenarkan Muslimah menjalankan agamanya yang dianut tersebut? Menurut agama si laki-laki itu kan tidak dibenarkan. Itu yang pertama. Sebaliknya, seandainya perempuan itu non-Muslim, dan laki-lakinya Muslim, tetapi kondisi sekarang ini menunjukkan bahwa perempuan bisa lebih dominan, maka hal itu terlarang secara syar'i (secara hukum Islam).
Alasannya?
Ya, dia (kaum perempuan itu) bisa mempengaruhi suaminya, bisa mempengaruhi anak-anaknya, dan akan menjadi penentu yang kuat dalam kehidupan mereka.
Apa bedanya bila yang dominan itu kaum laki-laki, toh dia (laki-laki) itu juga akan mempengaruhi, seperti yang dilakukan wanita bila mereka mayoritas?
Inilah yang saya katakan tadi, pertimbangannya adalah pertimbangan agama. Iya toh? Saya ingin melangkah lebih jauh lagi. Bahwa hampir semua orang yang menikah beda agama dan budaya (agama apapun yang dianutnya) pada saat anak-anaknya lahir dan dewasa mengalami kebingungan yang luar biasa. Itu anak mau dididik dan dibimbing dalam agama apa, serba dilematis. Jangan-jangan, sudahlah tidak usah beragama saja.
Pada posisi seperti inilah, mereka mengalami semacam split personality, keterbelahan jiwa. Ini amat berbahaya bagi masa depan anak-anak tersebut. Karena itu, kalau orang yang mau menikah itu menjadikan nilai agama sebagai pertimbangan yang pertama dan utama, maka orang itu tak akan kawin. Orang Kristen tidak akan nikah dengan Muslimah, sebaliknya orang Islam tak akan menikah dengan non-Islam.
Ada persoalan lain. Sebagian kalangan berpendapat, nikah beda agama untuk menjaga dan melestarikan sikap keberagamaan yang pluralis dan inklusiv. Kebetulan masyarakat kita ini plural. Bagaimana Anda melihatnya?
Betul, kita plural. Tetapi jangan lantas kita mengorbankan keyakinan, jangan mengorbankan anak sehingga tidak mempunyai pegangan. Kita ini seringkali salah kaprah memaknai pluralisme atau inklusiv dan sejenisnya itu. Lagi pula di agama lain juga akan mempertahankan sikapnya, tidak akan mau terbawa begitu saja. Jadi plural dan inklusiv itu ada batasnya.
Ada nggak di masa Nabi SAW dan sahabat nikah beda agama itu?
Ada, cukup banyak juga. Tapi itu dilakukan dalam rangka dakwah, dan laki-laki yang Muslim saat itu, yang non-Muslimnya adalah kaum wanitanya. Jadi waktu itu tak ada yang wanitanya itu Muslimah. Karena pemahaman ulama selama ini dalam konteks ayat-ayat Alquran mereka pahami bahwa Muslimah tidak boleh menikah dengan non-Muslim. Jadi ya cukup jelas.
Masalah pengertian ahlul kitab (para penganut agama langit), tak jarang jadi masalah dalam soal nikah beda agama. Sebenarnya, konsep ahlul kitab seperti apa sih dan ada batasan khusus?
Ada dua pendapat ulama. Ada yang mempersempit definisi ahlul kitab. Ada yang memperluas. Satu sisi, kalangan ulama yang memperluas berpendapat, ahlul kitab itu semua orang yang menganut agama Yahudi dan Nasrani, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Dengan demikian, mereka berpandangan menikah beda agama, berarti boleh.
Yang kedua, pandangan ulama yang mempersempit, yang merujuk pada ayat 5 surat Al-Maidah. Atas dasar ini, maka ahlul kitab yang dimaksud ialah sebelum datangnya Islam. Bagaimana sekarang? Saat ini kan penganut Yahudi dan Nasrani sesudah Islam begitu banyak, bahkan, Nasrani saja mayoritas di dunia.
Jadi batasan bolehnya sebelum Islam?
Benar! Umat manusia sebelum Islam datang dibolehkan dinikahi. Jadi keturunannya setelah Islam ini datang, tidak boleh dinikahi. Nah ini yang mempersempit pandangan. Kalau saya berpendapat, semua penganut agama, baik sebelum maupun sesudah Islam datang, kapanpun dan di manapun, boleh dinikahi.
Masalahnya, sebagian kitab agama Yahudi dan Nasrani itu sudah tercampur tangan manusia. Apa komentar Anda?
Pada zaman Nabi SAW pun sudah berubah. Siapa bilang baru sekarang ini dicampuri tangan-tangan manusia, kepentingan manusia itu sendiri. Sejak masa Nabi SAW, umat Kristen sudah mengakui Trinitas. Memang ada yang berpendapat, misalnya sahabat Nabi SAW, yakni Ibnu Umar, yang menyatakan bahwa secara tegas Alquran melarang perkawinan dengan musyrikat (wanita musyrik). Saya tidak tahu, kemusyrikan yang lebih jelas dari menganut Trinitas.
Tentu kondisi sekarang sudah jauh berbeda dari masa Nabi SAW. Alquran sendiri kan turun juga dikondisikan dengan budaya masyarakat saat itu. Lantas bagaimana dengan nikah beda agama saat ini?
Begini yah. Sebenarnya nikah beda agama itu kan diberikan sebagai salah satu jalan. Misalnya saja takut terjerumus ke jurang perzinaan, dan lain sebagainya, ya sudahlah menikah antaragama, ya itu sah-sah saja bagi mereka ini.
Tapi kalau mau prinsip ajaran agama, atau bahkan prinsip kafaah (persamaan budaya, wawasan, sikap sosial, sikap pandangan hidup) sekalipun, ini yang terpenting, maka nikah beda agama tidak diperbolehkan. Jadi, hemat saya, umat beragama hendaknya mendasarkan pada pertimbangan agama, apapun agamanya. Sebab agamalah yang akan melanggengkan perkawinan.
Penjelasannya menyejukkan. Begitulah Prof Dr M Quraish Shihab. Pakar tafsir termasyhur ini berusaha tak menggurui, bahkan, memvonis mereka yang mengajukan permasalahan. Dengan kekayaan keilmuan yang dimilikinya, ia selalu memberikan tawaran alternatif. Bila ada pendapat yang lebih kuat, ia hanya mengatakan, ''Saya cenderung memilih pendapat ulama A atau B''.
Kendati demikian, tak berarti ia kehilangan ketegasan. Menghadapi masalah yang helas halal atau haram, ayah lima anak ini, akan tegas menyatakannya langsung. Ia, bahkan, tak akan bergeming.
Lantas, bagaimana pandangannya terhadap masalah khilafiyah seperti menikah beda agama? Pria yang hapal Alquran ini mengimbau agar melihat konteks suatu ayat saat diturunkan. ''Dalam ayat yang membolehkan dan melarang nikah beda agama, kita harus jeli membaca latar belakang ayat tersebut turun. Bila tidak, kita akan terjerumus dalam perdebatan masalah-masalah sepele yang hanya menghabiskan energi saja,'' jelas Quraish.
Selain aktif menulis dan berceramah, sejumlah jabatan penting juga pernah ia jalani, antara lain Menteri Agama, Duta Besar RI untuk Mesir, dan Rektor IAIN Jakarta kini Universitas Islam Negeri (UIN). Di tengah kesibukannya yang padat, doktor dari Universitas Al-Azhar Mesir ini tetap menyempatkan menjawab berbagai pertanyaan dari pembaca Republika secara ajeg.
Kini, pria kelahiran Rappang, Sulawesi Selatan, 16 Februari 1946 ini sedang menyelesaikan Tafsir Al Misbah sebanyak 30 juz yang sekarang telah terbit 13 volume. Dalam waktu dekat juga segera terbit dua bukunya, Bekal Perjalanan dan 40 Hadis Qudsi Pilihan. Berikut petikan wawancara dengannya seputar pernikahan beda agama.
Pernyataan Nabi SAW menyebutkan ada tiga kriteria untuk melangsungkan pernikahan. Yaitu pilih materi, kecantikan, dan agama, maka pilihlah agamanya. Bisa Anda jelaskan hal ini?
Hadis itu menggambarkan ada orang yang dorongan kawinnya itu harta, ada pula dorongan karena kecantikannya. Kalau yang mengatakannya itu penganjur agama, maka dia akan berkata, "fazfar bizaati diniha" (pilih agamanya).
Tapi kalau hal itu diucapkan oleh bukan penganjur agama, maka dia akan mengatakan, pilih saja hartanya atau kecantikannya. Saya dapat mengatakan bahwa hampir semua yang kawin beda agama itu tidak menempatkan faktor dan nilai agama dalam pertimbangan utama tingkatan yang tinggi. Islam sudah demikian jelas, menempatkan pertimbangan agama pada tingkatan tertinggi, melebihi faktor-faktor lainnya.
Anda tadi menegaskan, Islam tidak membolehkan nikah beda agama, bila pertimbangannya agama. Lantas bagaimana dengan ayat Alquran yang membolehkan pria Muslim menikahi wanita non-Islam?
Ayat itu harus dilihat dalam konteks ajaran agama ketika itu. Kondisi masyarakat saat itu yang dominan adalah lelaki Muslim bisa mentoleransi istrinya melaksanakan tuntunan agamanya yang Yahudi atau Nasrani. Tetapi lelaki yang non-Muslim, karena dia dominan, bisa jadi memaksanakan istrinya untuk keluar dari agamanya.
Mengapa? Antara lain karena non-Muslim tidak percaya Muhammad SAW itu nabi. Akan tetapi, seorang Muslim meskipun dia dominan, tetap percaya bahwa Isa AS adalah nabi, Musa AS itu nabi, dan dia percaya bahwa Islam itu mentoleransi setiap orang menjalankan agamanya masing-masing. Jadi Islam membenarkan Muslim (pria) menikahi non-Muslim (wanitanya).
Sekarang ini, seandainya yang lebih dominan itu Muslimahnya, laki-laki non-Muslimnya yang minoritas, bisa nggak laki-laki itu dalam pertimbangan agamanya membenarkan Muslimah menjalankan agamanya yang dianut tersebut? Menurut agama si laki-laki itu kan tidak dibenarkan. Itu yang pertama. Sebaliknya, seandainya perempuan itu non-Muslim, dan laki-lakinya Muslim, tetapi kondisi sekarang ini menunjukkan bahwa perempuan bisa lebih dominan, maka hal itu terlarang secara syar'i (secara hukum Islam).
Alasannya?
Ya, dia (kaum perempuan itu) bisa mempengaruhi suaminya, bisa mempengaruhi anak-anaknya, dan akan menjadi penentu yang kuat dalam kehidupan mereka.
Apa bedanya bila yang dominan itu kaum laki-laki, toh dia (laki-laki) itu juga akan mempengaruhi, seperti yang dilakukan wanita bila mereka mayoritas?
Inilah yang saya katakan tadi, pertimbangannya adalah pertimbangan agama. Iya toh? Saya ingin melangkah lebih jauh lagi. Bahwa hampir semua orang yang menikah beda agama dan budaya (agama apapun yang dianutnya) pada saat anak-anaknya lahir dan dewasa mengalami kebingungan yang luar biasa. Itu anak mau dididik dan dibimbing dalam agama apa, serba dilematis. Jangan-jangan, sudahlah tidak usah beragama saja.
Pada posisi seperti inilah, mereka mengalami semacam split personality, keterbelahan jiwa. Ini amat berbahaya bagi masa depan anak-anak tersebut. Karena itu, kalau orang yang mau menikah itu menjadikan nilai agama sebagai pertimbangan yang pertama dan utama, maka orang itu tak akan kawin. Orang Kristen tidak akan nikah dengan Muslimah, sebaliknya orang Islam tak akan menikah dengan non-Islam.
Ada persoalan lain. Sebagian kalangan berpendapat, nikah beda agama untuk menjaga dan melestarikan sikap keberagamaan yang pluralis dan inklusiv. Kebetulan masyarakat kita ini plural. Bagaimana Anda melihatnya?
Betul, kita plural. Tetapi jangan lantas kita mengorbankan keyakinan, jangan mengorbankan anak sehingga tidak mempunyai pegangan. Kita ini seringkali salah kaprah memaknai pluralisme atau inklusiv dan sejenisnya itu. Lagi pula di agama lain juga akan mempertahankan sikapnya, tidak akan mau terbawa begitu saja. Jadi plural dan inklusiv itu ada batasnya.
Ada nggak di masa Nabi SAW dan sahabat nikah beda agama itu?
Ada, cukup banyak juga. Tapi itu dilakukan dalam rangka dakwah, dan laki-laki yang Muslim saat itu, yang non-Muslimnya adalah kaum wanitanya. Jadi waktu itu tak ada yang wanitanya itu Muslimah. Karena pemahaman ulama selama ini dalam konteks ayat-ayat Alquran mereka pahami bahwa Muslimah tidak boleh menikah dengan non-Muslim. Jadi ya cukup jelas.
Masalah pengertian ahlul kitab (para penganut agama langit), tak jarang jadi masalah dalam soal nikah beda agama. Sebenarnya, konsep ahlul kitab seperti apa sih dan ada batasan khusus?
Ada dua pendapat ulama. Ada yang mempersempit definisi ahlul kitab. Ada yang memperluas. Satu sisi, kalangan ulama yang memperluas berpendapat, ahlul kitab itu semua orang yang menganut agama Yahudi dan Nasrani, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Dengan demikian, mereka berpandangan menikah beda agama, berarti boleh.
Yang kedua, pandangan ulama yang mempersempit, yang merujuk pada ayat 5 surat Al-Maidah. Atas dasar ini, maka ahlul kitab yang dimaksud ialah sebelum datangnya Islam. Bagaimana sekarang? Saat ini kan penganut Yahudi dan Nasrani sesudah Islam begitu banyak, bahkan, Nasrani saja mayoritas di dunia.
Jadi batasan bolehnya sebelum Islam?
Benar! Umat manusia sebelum Islam datang dibolehkan dinikahi. Jadi keturunannya setelah Islam ini datang, tidak boleh dinikahi. Nah ini yang mempersempit pandangan. Kalau saya berpendapat, semua penganut agama, baik sebelum maupun sesudah Islam datang, kapanpun dan di manapun, boleh dinikahi.
Masalahnya, sebagian kitab agama Yahudi dan Nasrani itu sudah tercampur tangan manusia. Apa komentar Anda?
Pada zaman Nabi SAW pun sudah berubah. Siapa bilang baru sekarang ini dicampuri tangan-tangan manusia, kepentingan manusia itu sendiri. Sejak masa Nabi SAW, umat Kristen sudah mengakui Trinitas. Memang ada yang berpendapat, misalnya sahabat Nabi SAW, yakni Ibnu Umar, yang menyatakan bahwa secara tegas Alquran melarang perkawinan dengan musyrikat (wanita musyrik). Saya tidak tahu, kemusyrikan yang lebih jelas dari menganut Trinitas.
Tentu kondisi sekarang sudah jauh berbeda dari masa Nabi SAW. Alquran sendiri kan turun juga dikondisikan dengan budaya masyarakat saat itu. Lantas bagaimana dengan nikah beda agama saat ini?
Begini yah. Sebenarnya nikah beda agama itu kan diberikan sebagai salah satu jalan. Misalnya saja takut terjerumus ke jurang perzinaan, dan lain sebagainya, ya sudahlah menikah antaragama, ya itu sah-sah saja bagi mereka ini.
Tapi kalau mau prinsip ajaran agama, atau bahkan prinsip kafaah (persamaan budaya, wawasan, sikap sosial, sikap pandangan hidup) sekalipun, ini yang terpenting, maka nikah beda agama tidak diperbolehkan. Jadi, hemat saya, umat beragama hendaknya mendasarkan pada pertimbangan agama, apapun agamanya. Sebab agamalah yang akan melanggengkan perkawinan.
Komentar