Langsung ke konten utama

Anda Pasti Mampu !

Menjadi entrepreneur sukses, itulah cita-cita yang pantas untuk diperjuangkan oleh generasi barn negeri ini. Meraih cita-cita semacam itu tentulah ridak mudah. Akan tetapi, boleh jadi juga tidak sesulit yang dibayangkan oleh banyak orang. Terutama bagi kita yang berkeyakinan bahwa setiap orang dapat [kalau mau tentu] belajar berwirausaha.


Menurut Poppy King, entrepreneur asal Australia yang terjun ke bisnis sejak berusia 18 tahun, ada tiga hal yang selalu dihadapi seorang entrepreneur di bidang apapun, yakni: pertama, obstacle (hambatan); kedua, hardship (kesulitan); ketiga, very rewarding life (imbalan atau hasil bagi kehidupan yang memukau). Dan kita setuju sepenuhnya dengan pernyataan itu. Karenanya, kita boleh berpendapat bahwa sesungguhnya entrepreneurship dalam batas tertentu adalah untuk semua orang. Mengapa?


Sedikitnya ada empat alasan yang mudah disebutkan. Pertama, setiap orang memiliki cita-cita, impian, atau sekurang-kurangnya harapan untuk meningkatkan kualitas hidupnya sebagai manusia. Hal ini merupakan semacam “intuisi” yang mendorong manusia normal untuk bekerja dan berusaha. “Intuisi” ini berkaitan dengan salah satu potensi kemanusiaan, yakni daya imajinasi kreatif.


Karena manusia merupakan satu-satunya mahluk ciptaan Tuhan yang, antara lain, dianugerahi daya imajinasi kreatif, maka ia dapat menggunakannya untuk berpikir. Pikiran itu dapat diarahkan ke masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dengan berpikir, ia dapat mencari jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan penting seperti, antara lain: dari manakah aku berasal? dimana posisiku saat ini? kemana aku akan [mau] pergi? apakah yang akan aku wariskan kepada anak cucuku dan dunia ini? Dan sejumlah pertanyaan imajinatif. lainnya.


Menelusuri sejarah pribadi di masa lalu dapat memberikan gambaran mengenai kekuatan dan kelemahan seseorang. Didalamnya terdapat sejumlah pengalaman hidup: hambatan dan kesulitan yang pernah. kita hadapi dan bagaimana kita mengatasinya, kegagalan dan keberhasilan, kesenangan dan keperihan, dan lain sebagainya. Namun, karena semuanya sudah berlalu, maka tidak banyak lagi yang dapat dilakukan untuk mengubah semua itu. Kita hams menerimanya dan memberinya makna yang tepat serta meletakkannya dalam suatu perspektif masa kini dan masa depan (Harefa: Sukses Tanpa Gelar, Gramedia Pustaka Utama, 1998, hal. 3-7).


Masa kini menceritakan situasi nyata dimana kita berada, apa yang telah kita miliki, apa yang belum kita miliki, apa yang kita nikmati dan apa yang belum dapat kita nikmati, apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab kita dan apa yang menjadi hak asasi kita sebagai manusia, dan lain sebagainya. Dengan menyadari keberadaan kita saat ini, kita dapat bersyukur atau mengeluh, kita dapat berpuas diri atau menentukan sasaran berikutnya, dan seterusnya.


Masa depan memberikan harapan, paling tidak demikianlah seharusnya bagi mereka yang beriman berkepercayaan. Bila kita memiliki masa lalu yang tidak menyenangkan, dan masih berada pada situasi dan kondisi yang belum sesuai dengan cita-cita atau impian kita, maka adalah wajar jika kita mengharapkan masa depan yang lebih baik, lebih cerah, lebih menyenangkan. Sebab selama masih ada hari esok, segala kemungkinan masih tetap terbuka lebar (terlepas dari pesimisme atau optimisme mengenai hal itu).


Jelas bahwa masa lalu, masa kini, dan masa depan bertalian langsung dengan daya imajinasi kita. Dan di dalam masa-masa itulah segala hambatan (obstacle), kesulitan (hardship), dan kesenangan atau suka cita (very rewarding life) bercampur baur jadi satu. Sehingga, jika Poppy King mengatakan bahwa ketiga hat itulah yang dihadapi oleh seorang entrepreneur dalam bidang apapun, maka bukankah itu berarti bahwa entrepreneurship adalah untuk semua orang? Siapakah manusia di muka bumi ini yang tidak perah menghadapi hambatan dan kesulitan untuk mencapai cita-cita dan impiannya?


Alasan kedua yang membuat kewirausahaan itu pada dasamya untuk semua orang adalah karena hal itu dapat dipelajari. Peter F. Drucker, misalnya, pemah menulis dalam Innovation and Entrepreneurship bahwa, “Setiap orang yang memiliki keberanian untuk mengambil keputusan dapat be/ajar menjadi wirausaha, dan berperilaku seperti wirausaha. Sebab (atau maka) kewirausahaan lebih merupakan perilaku daripada gejala kepribadian, yang dasamya terletak pada konsep dan teori, bukan pada intuisi”. Dan perilaku, konsep, dan teori merupakan hal-hat yang dapat dipelajari oleh siapapun juga.


Sepanjang kita bersedia membuka hati dan pikiran untuk belajar, maka kesempatan untuk menjadi entrepreneur tetap terbuka. Sepanjang kita sadar bahwa belajar pada hakikatnya merupakan suatu proses yang berkelanjutan, yang tidak selalu berarti dimulai dan berakhir di sekolah atau universitas tertentu, tetapi dapat dilakukan seumur hidup, dimana saja dan kapan saja (saya menyebutnya Sekolah Besar Kehidupan), maka belajar berwirausaha dapat dilakukan oleh siapa saja, meski tak harus berarti menjadi entrepreneur “besar”.


Alasan yang ketiga adalah karena fakta sejarah menunjukkan kepada kita bahwa para wirausaha yang paling berhasil sekalipun pada dasarnya adalah manusia biasa. Mereka makan dan minum, tidur, berjalan, berhubungan seks, suka berteman, bisa marah atau menangis, dan, yah seperti manusia lainnya. Sabeer Bathia, seorang digital entrepreneur yang meluncurkan hotmai1.com tanggal 4 Juli 1996, baru menyadari hal ini setelah ia berguru kepada orang-orang seperti Steve Jobs, penemu komputer pribadi (Apple). Dan kesadaran itu membuatnya cukup percaya diri ketika menetapkan harga penemuannya senilai 400 juta dollar AS kepada Bill Gates, permilik Microsoft, yang juga manusia biasa [Harefa: Berwirausaha Dari Nol, Gramedia, 2000].


Alasan keempat adalah karena kewirausahaan mengarahkan orang kepada kepemimpinan. Dan kepemimpinan adalah untuk semua orang [Harefa . Berguru Pada Matahari, Gramedia Pustaka Utama, 1998].


Dengan empat alasan sederhana di atas, kita bisa menegaskan bahwa kewirausahaan adalah untuk semua orang. Kita tidak percaya pada teori yang mengatakan bahwa orang yang berdarah Tionghoa saja yang dapat sukses berwirausaha [pandangan ini diyakini sebagian orang di Indonesia]. Sebab dengan demikian bagaimana kita menjelaskan keberhasilan orang Aceh, Batak, Minang Kabau, Lampung, Sulawesi, Lombok, dan priburni lainnya yang juga sukses berwirausaha? Saya juga tidak mendukung teori Max Weber yang menempatkan kaum protestan sebagai entrepreneur ulung tanpa tanding [meski untuk konteks Amerika dan Eropa mungkin ada benarnya]. Sebab bagaimana ia menjelaskan keberhasilan kaum entrepreneur di wilayah Asia dan Timur Tengah yang bukan protestan? Bukankah keberhasilan Taiwan dan Singapura oleh Lee Teng-hui dan Lee Kuan Yew dinyatakan sebagai “dampak” etika konfusianisme?


Tetapi kita setuju ketika Anugerah Pekerti, mantan Direktur Utama Lembaga Manajemen PPM, mendefinisikan kewirausahaan sebagai tanggapan terhadap peluang usaha yang terungkap dalam seperangkat tindakan serta membuahkan hasil berupa organisasi usaha yang melembaga, produktij, dan inovatif Kita juga sependapat dengan Howard H. Stevenson, mantan Presiden Harvard Business School yang memahami kewirausahaan sebagai suatu pola tingkah laku manajerial yang terpadu dalam upaya pemanfaatan peluang-peluang yang tersedia tanpa mengabaikan sumber daya yang dimilikinya. Kita mendukung pendapat Drucker bahwa pemanfaatan peluang merupakan definisi yang tepat untuk kewirausahaan dan bahwa seorang wirausaha harus mengalokasikan sumber daya dari bidang-bidang yang memberi hasil rendah atau menurun ke bidang-bidang yang memberi hasil tinggi atau meningkat.


Kewirausahaan adalah untuk semua orang. Semua orang berpotensi untuk menjadi wirausaha. Namun apakah ia wirausaha yang berhasil, setengah berhasil, atau gagal, itu soal lain. Sama seperti orang-orang yang berpotensi menjadi presiden tidak semuanya menjadi presiden sungguhan, sementara yang tidak disangka-sangka menjadi presiden, justru berhasil menjadi presiden. Artinya, antara lain, tak ada konsep atau teori yang bersifat mutlak, juga tentang kewirausahaan. Tidak juga teori yang disampaikan lewat tulisan pendek ini.


Bukankah demikian?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prof Dr Muhammad Quraish Shihab

Menikahlah dengan Mempertimbangkan Agama Penjelasannya menyejukkan. Begitulah Prof Dr M Quraish Shihab. Pakar tafsir termasyhur ini berusaha tak menggurui, bahkan, memvonis mereka yang mengajukan permasalahan. Dengan kekayaan keilmuan yang dimilikinya, ia selalu memberikan tawaran alternatif. Bila ada pendapat yang lebih kuat, ia hanya mengatakan, ''Saya cenderung memilih pendapat ulama A atau B''. Kendati demikian, tak berarti ia kehilangan ketegasan. Menghadapi masalah yang helas halal atau haram, ayah lima anak ini, akan tegas menyatakannya langsung. Ia, bahkan, tak akan bergeming. Lantas, bagaimana pandangannya terhadap masalah khilafiyah seperti menikah beda agama? Pria yang hapal Alquran ini mengimbau agar melihat konteks suatu ayat saat diturunkan. ''Dalam ayat yang membolehkan dan melarang nikah beda agama, kita harus jeli membaca latar belakang ayat tersebut turun. Bila tidak, kita akan terjerumus dalam perdebatan masalah-masalah sepele yang h

Berlian yang perlu diketahui..

berlian terdalam gunung berapi yang juga mengandung atom dan karbon. Yang memang pada kenyataannya berlian merupakan kristal transparan yang mengikat empat bagian karbon atom. Batu berlian terbawa kepermukaan bumi melalui letusan volkanik. Menurut penelitian, naiknya berlian kepermukaan bumi dikarenakan batu yang mencair. Berlian dikembangkan dari bermil-mil bagian dalam permukaan bumi, pada kerendahan 150 km (90 mil), pada tekanan kira-kira 5 giga pascal dengan temperatur sekitarnya 1200 derajat celcius (2200 derajat Fahrenheit). Berlian bisa menjadi bentuk alami lain sesuai tingginya tekanan, secara relatif pada saat temperatur rendah. Namun sangat disayangkan berlian tidak bisa terbentuk dari bawah laut. Sejak zaman purbakala bahkan pada saat penamaan berlian itu sendiri, berlian terkenal sebagai material yang paling keras ke tiga setelah ‘Aggregated diamond nanorods’ dan ‘Ultrahard Fullerite’. Menurut sejarahnya, nama berlian itu sendiri diambil dari bahasa Yunani kuno yang arti

Meminang secara Islami..

Tuntunan untuk memulai keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. I CARA MEMINANG 1. Meminang Sendiri Disebutkan dalam Hadist berikut: 'Abdurrahman bin 'Auf berkata kepada Ummu Hakim binti Qarizh: "Maukah kamu menyerahkan urusanmu kepadaku?" Jawabnya: "Baiklah." Ujarnya: "Kalau begitu, baiklah kamu saya nikahi." (HR. Bukhari) Meminang sendiri perempuan yang hendak dijadikan istri atau kepada wali atau orang tuanya merupakan salah satu cara meminang yang dibenarkan oleh syari'at Islam. Cara semacam ini halal kita praktekkan, baik kepada perempuan yang masih perawan atau yang sudah menjadi janda. 2. Meminang Oleh Orang Tua/Wali Disebutkan dalam Hadist berikut: 'Aisyah berkata: "Sesungguhnya perkawinan pada zaman jahiliyah ada 4 macam, diantaranya seperti perkawinan yang berjalan pada saat ini, yaitu seorang laki-laki datang kepada laki-laki lain (keluarganya) untuk meminang perempuan yang ada di bawah perwaliannya