Langsung ke konten utama
Kesetaraan Gender versi Islam

Wacana keadilan dan keseteraan jender di tengah suasana penegakan syariat Islam, kembali mencuat. Meskipun bukan hal baru, namun tetap saja mengundang debat panjang. Pernyataan pro-kontra muncul menghiasi langit sejarah perjalanan panjang nasib kaum perempuan. Ternyata harus diakui, masih terlalu besar hambatan yang harus dilalui oleh siapapun yang ingin mengembalikan peran dan fungsi perempuan sebagaimana peran dan fungsi yang dimiliki dan dimainkan laki-laki.

Nada ketidaksetujuan begitu nyaring menggema dari sebagian masyarakat, ketika kaum perempuan dan kelompok masyarakat yang berpersfektif jender, menyoal dimana dan bagaimanakah sesungguhnya posisi dan peran perempuan, baik dalam tataran praktis maupun dalam ranah teologi (agama).

Sampai hari ini, gerakan feminisme dikondisikan secara vis a vis dengan agama. Peran dan fungsi agama dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menjadi antipoda terhadap semua gerakan yang berpersfektif jender. Realitas kehidupan kaum perempuan yang notabenenya hari ini perlu mendapat advokasi, dipaksa tunduk dan patuh di bawah kaki agama. Apa yang dikatakan oleh agama tentang perempuan adalah mutlak. Konsekwensinya, bila ada yang melanggar akan berhadapan dengan “tentara-tentara” Tuhan yang siap melakukan apapun, sebagai bentuk kewajibannya menjaga kesucian agama dan keagungan Tuhan.

Kondisi ini terdapat hampir disemua agama. Tidak terkecuali Islam yang dianut mayoritas penduduk bumi. Perempuan yang hidup di negara berpenduduk muslim mengalami perlakuan yang tidak berbeda jauh dengan yang hidup di negara non-muslim. Ruang gerak mereka dipersempit dan segala aktifitasnya diawasi agar jangan sampai keluar dari ajaran Islam. Semuanya lagi-lagi dilakukan atas nama agama dan Tuhan.

Begitu rendahkah posisi perempuan sehingga semua agama, termasuk Islam memandangnya sebagai manusia kelas dua? Diperlukan kejujuran untuk memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Karena tidak ada agama atau sistem kepercayaan apapun, baik yang diciptakan manusia maupun “hasil kreasi” Tuhan, yang secara sengaja menjadi penjajah atas penganutnya. Dengan perkataan lain, umat agama itu sendirilah yang sesungguhnya menjadikan agama dan seluruh nilai-nilai normative yang dikandungnya sebagai algojo atas sebagian umat yang lain.

Islam sebagai sebuah agama dan sistem kepercayaan juga tidak hendak menciptakan pola kehidupan umatnya menjadi berkelas. Menurut Yusuf Qardhawi, seorang ulama kontemporer asal Mesir, bahwa Islam tidaklah melakukan pembedaan dalam memuliakan manusia. Kedua jenis ciptaan Tuhan (laki-laki dan perempuan) tersebut diberi tugas dan tanggungjawab yang sama dan kelak akan diberikan pahala atau siksa sebagai imbalannya (1995).

Jika ditelusuri, tidak ada suatu nilaipun dalam al-quran yang secara qath’i mengharuskan kaum perempuan tunduk, patuh dan mengalah terhadap laki-laki. Sebab tidak ada kelebihan dan kekurangan diantara keduanya yang menyebabkan antara satu dengan lainnya menjadi tersubordinasi. Kecuali beberapa hal yang bersifat kodrati, seperti tampilan fisik dan fungsi-fungsi reproduksi. Bahwa perempuan mengalami masa-masa kehamilan, melahirkan dan menyusui, yang itu tidak terjadi pada kaum pria.

Pada beberapa surat dalam al-quran, Allah swt secara tegas menyatakan netralitas diri-Nya terhadap manusia. “Hai orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorongkamu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepda takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”(Q.S. 5 : 8).

Dalam ayat lain Allah berfirman “Wahai seluruh manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertakwa” (Q.S.49 : 13). Dan masih banyal ayat yang senada seperti Q.S. 3: 83 dan 195 ; Q.S. 16 : 97; Q.S. 33 : 35 dan Q.S. 18:29. Keseluruhan ayat ini secara tegas menyatakan bahwa persoalan itu sudah tuntas ketika agama Islam diturunkan.

Lantas mengapa saat ini problem kemanusiaan tersebut kembali muncul dengan disertai berbagai aksioma berpikir dan gerakan yang mencemaskan banyak orang. Tidak saja di negara yang berpendududuk mayoritas non-muslim,tetapi juga di negara-negara muslimpun gerakan ini terus menggelinding bagai bola salju. Ini telah memunculkan sejumlah tokoh pembaharu yang berpersfektif jender, seperti Rifa’ah Rafi’ al-Tahtawi, Qasim Amin, Tahar Haddad, Fatima Mernissi, Leila Ahmed, Azizah Al-Hibbri, Bibi Hashemah, Aminah Wadud Muhsin, Asghar Ali Engineer, Mazharul HaqKhan dan Riffat Hassan serta sederetan tokoh lainnya.

Karena itu menjadi menarik untuk mengetahui apa sesungguhnya yang menjadikan prinsip keadilan, egalitarian dan berbagai prinsip yang universal dalam Islam tersebut mengalami translasi sehingga posisi dan peran serta fungsi kaum perempuan menjadi terpinggirkan?

Fatima Mernissi menggugat ketidakadilan tersebut dengan mengatakan : “Mengapa mereka (kaum laki-laki) tidak mau menganggap wanita sebagai kunci pembangunan? Mengapa mereka selalu ingin menghina dan menghambat langkah kami? Padahal kami telah berusaha mendidik diri sehingga menjadi produktif dan berguna. Mengapa kami selalu menjadi sasaran penolakan dan pengecualian terus-menerus?” (1993).

Perasaan yang dialami kaum perempuan sebagaimana dikatakan Fatima Mernissi tersebut, begitu terasa di negara-negara yang menerapkan ajaran agama secara rigid. Tidak terkecuali di negara yang mayoritas penduduknya muslim. Bahkan yang telah memberlakukan syariat Islam secara formal, seperti di Nanggroe Aceh Darussalam. Kaum perempuan hanya dijadikan semata sebagai obyek hukum. Gerak-gerik mereka selalu diawasi. Mulai dari pergaulan sampai pada cara berpakaian. Semua harus sesuai syariat Islam.

Lebih celaka lagi, mereka dianggap sebagai pemicu munculnya praktek prostitusi yang saat ini begitu sulit untuk diberantas. Sebuah penyakit social yang konon katanya memiliki potensi besar meluluhlantahkan bangunan sebuah bangsa. Juga terjadinya berbagai praktek kekerasan seksual dikarenakan perilaku mereka yang dianggap tidak islami. Seperti sering keluar malam dan berpakaian tidak menutup aurat. Syariat Islam alih-alih menjadi pembebas, justeru merendahkan penghambanya sendiri.

Adanya perlakukan diskriminatif tersebut, berangkat dari pemahaman bahwa hukum (fiqh) Islam telah mengaturnya sehingga sebagai seorang muslim ia haruslah dijalankan. Tanpa ada upaya “mencurigai”, apakah semua ajaran dan hukum tersebut merupakan perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad.

Sejatinya,berbagai aturan hukum (fiqh) Islam yang berbicara tentang perempuan hendaknya difahami sebagai sebuah hasil olah fikir dari segolongan umat atas garis-garis besar Islam. Karenanya umat harus mampu bersikap kritis terhadap fiqh yang ada dan bukan menempatkan diri pada sikap taken for granted. Menyoal validitas hadits bukanlah perbuatan terlarang yang dihukum haram. Pun tidaklah berdosa seseorang jika meragukan setiap pernyataan dan perbuatan Nabi Muhammad yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.

Shirin Ebadi, seorang perempuan berkebangsan Iran, pemenang Nobel Perdamaian 2003, menyebutkan tidaklah benar anggapan yang mengatakan adanya ketentuan yang mengatur hubungan laki-laki dan perempuan dikategorikan sebagai ajaran Islam. Melainkan tetapi Interpretasi terhadap Islam (Kompas, 18/3/2004).

Karena itulah Dr. Yusuf Qardhawi mengajukan alternative agar fiqh yang ada direformasi menjadi fiqh realitas dan fiqh prioritas. Sebab harus disadari fiqh adalah sebuah produk yang dihasilkan oleh generasi Islam beberapa abad lalu sebagai solusi atas persoalan pada zamannya. Dengan demikian sangat tidak tepat bila produk ulama masa lalu itu dijadikan sebagai solusi atas berbagai problem kemanusiaan kontemporer.

Oleh karenanya menjadi urgent menghadirkan fiqh yang sesuai dengan prinsip keadilan dan kesetaraan jender. Ini tentu merupakan sebuah pekerjaan besar dan penuh resiko. Siapapun akan berhadapan dengan arus besar yang selama ini menempatkan fiqh sebagai pusat segalanya. Fiqh dianggap sebagai otoritas pengetahuan dalam memfungsionalisasikan doktrin keagamaan guna menyelesaikan semua ketegangan dalam realitas sehari-hari.

Selain rekontsruksi dan reinterpretasi agama yang bias jender, ada beberapa hal yang bisa dikerjakan khususnya kaum perempuan, sebagai upaya pemanfaatan ruang publik yang masih sangat kecil. Pertama, perlu sebuah gerakan kearah perubahan paradigma yang lebih berpresfektif jender. Sehingga kontruksi social masyarakat yang patriarkis bisa runtuh. Kedua, gerakan perempuan juga perlu melakukan anilisis yang lebih konfrehensif untuk mencari akar persoalan. Ini diperlukan sebagai salah satu cara terciptanya keadilan jender.

Ketiga, membangun gerakan politik perempuan yang selama ini begitu lemah di mata laki-laki. Ini ditandai dengan rendahnya bargaining posisition, sehingga sehebat apapun kualitas yang dimiliki, kaum perempuan tetap menjadi pelengkap dalam percaturan politik makro. Berbagai jabatan stategis di wilayah public yang diduduki tidak mampu mempengaruhi lahirnya berbagai kebijakan yang memihak perempuan.

Pada akhirnya, terciptanya sebuah pola hubungan laki-laki dan perempuan yang egaliter dan harmonis dalam kerangka nilai-nilai Islam, tidak terlepas dari keberanian kita membalik paradigma figh yang patriakat. Sehingga bias lebih menyentuh isu-isu kesetaraan jender. Mendinamisasikan fiqh adalah langkah awal yang tepat dalam merekonstruksi syariat dari wajahnya yang eksklusif dan diskrimintaif. Dengan begitu kita tidak lagi mendengar seorang Fatima Mernissi berteriak, “Mengapa mereka (kaum laki-laki) tidak mau menganggap wanita sebagai kunci pembangunan? Mengapa mereka selalu ingin menghina dan menghambat langkah kami? Padahal kami telah berusaha mendidik diri sehingga menjadi produktif dan berguna. Mengapa kami selalu menjadi sasaran penolakan dan pengecualian terus-menerus?”.

duik

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prof Dr Muhammad Quraish Shihab

Menikahlah dengan Mempertimbangkan Agama Penjelasannya menyejukkan. Begitulah Prof Dr M Quraish Shihab. Pakar tafsir termasyhur ini berusaha tak menggurui, bahkan, memvonis mereka yang mengajukan permasalahan. Dengan kekayaan keilmuan yang dimilikinya, ia selalu memberikan tawaran alternatif. Bila ada pendapat yang lebih kuat, ia hanya mengatakan, ''Saya cenderung memilih pendapat ulama A atau B''. Kendati demikian, tak berarti ia kehilangan ketegasan. Menghadapi masalah yang helas halal atau haram, ayah lima anak ini, akan tegas menyatakannya langsung. Ia, bahkan, tak akan bergeming. Lantas, bagaimana pandangannya terhadap masalah khilafiyah seperti menikah beda agama? Pria yang hapal Alquran ini mengimbau agar melihat konteks suatu ayat saat diturunkan. ''Dalam ayat yang membolehkan dan melarang nikah beda agama, kita harus jeli membaca latar belakang ayat tersebut turun. Bila tidak, kita akan terjerumus dalam perdebatan masalah-masalah sepele yang h

Berlian yang perlu diketahui..

berlian terdalam gunung berapi yang juga mengandung atom dan karbon. Yang memang pada kenyataannya berlian merupakan kristal transparan yang mengikat empat bagian karbon atom. Batu berlian terbawa kepermukaan bumi melalui letusan volkanik. Menurut penelitian, naiknya berlian kepermukaan bumi dikarenakan batu yang mencair. Berlian dikembangkan dari bermil-mil bagian dalam permukaan bumi, pada kerendahan 150 km (90 mil), pada tekanan kira-kira 5 giga pascal dengan temperatur sekitarnya 1200 derajat celcius (2200 derajat Fahrenheit). Berlian bisa menjadi bentuk alami lain sesuai tingginya tekanan, secara relatif pada saat temperatur rendah. Namun sangat disayangkan berlian tidak bisa terbentuk dari bawah laut. Sejak zaman purbakala bahkan pada saat penamaan berlian itu sendiri, berlian terkenal sebagai material yang paling keras ke tiga setelah ‘Aggregated diamond nanorods’ dan ‘Ultrahard Fullerite’. Menurut sejarahnya, nama berlian itu sendiri diambil dari bahasa Yunani kuno yang arti

Meminang secara Islami..

Tuntunan untuk memulai keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. I CARA MEMINANG 1. Meminang Sendiri Disebutkan dalam Hadist berikut: 'Abdurrahman bin 'Auf berkata kepada Ummu Hakim binti Qarizh: "Maukah kamu menyerahkan urusanmu kepadaku?" Jawabnya: "Baiklah." Ujarnya: "Kalau begitu, baiklah kamu saya nikahi." (HR. Bukhari) Meminang sendiri perempuan yang hendak dijadikan istri atau kepada wali atau orang tuanya merupakan salah satu cara meminang yang dibenarkan oleh syari'at Islam. Cara semacam ini halal kita praktekkan, baik kepada perempuan yang masih perawan atau yang sudah menjadi janda. 2. Meminang Oleh Orang Tua/Wali Disebutkan dalam Hadist berikut: 'Aisyah berkata: "Sesungguhnya perkawinan pada zaman jahiliyah ada 4 macam, diantaranya seperti perkawinan yang berjalan pada saat ini, yaitu seorang laki-laki datang kepada laki-laki lain (keluarganya) untuk meminang perempuan yang ada di bawah perwaliannya